Film yang menguntungkan adalah film yang pendapatannya bisa dimaksimalkan sembari mereduksi berbagai pengeluarannya (tentu tanpa mengurangi kualitasnya ya).
Sebagai sebuah karya seni yang dirilis di bioskop, film termasuk produk yang dijual “satu kali saja”. Sehingga apapun gimmick-gimmick marketing-nya wajib dilakukan mumpung fimnya masih bertengger di layar bioskop.
Sekarang ini ada sumber lain –relatif baru– yang diandalkan oleh para sineas, yaitu dari streaming-an via over-the-top (OTT).
Baik, kita masuk ke inti tulisan ini ya: faktor-faktor yang bisa memaksimalkan keuntungan film.
Genre yang Paling Disukai
Beberapa film horor seperti Halloween (1978) terbukti sangat menguntungkan, dengan keuntungan yang jauh lebih besar dari anggaran produksinya.
Dilansir dari CNN Indonesia, peringkat 20 besar film Indonesia terlaris didominasi oleh tiga genre, yaitu horor, komedi, dan drama.
Di Indonesia, genre horor sangat-sangat disukai. Tidak habis-habisnya penonton kita menyerbu bioskop dan layanan streaming untuk menyaksikan film-film bergenre horor.
Kalau komedi, tidak heran ya. Karena komedi sifatnya memancing tawa audiens untuk menghilangkan penat dari kesibukan sehari-hari. Di antara yang paling laris belakangan ini adalah Warkop DKI Reborn.
Film drama/romantis seperti Titanic berhasil meraih keuntungan besar melalui penjualan tiket, hak siar, dan penjualan video rumahan. Kalau di Indonesia, yang paling populer rasanya adalah Ada Apa Dengan Cinta (AADC) yang bahkan juga ada sequel-nya.
Baca juga: Para Kolaborator Pemasaran Film.
Anggaran Produksi Rendah
Film dengan biaya produksi yang kecil sering kali bisa sangat menguntungkan jika berhasil menarik banyak penonton, seperti Rocky (1976) yang sukses besar dengan anggaran $1 juta dan keuntungan lebih dari $200 juta.
Salah satu cara menurunkan Rencana Anggaran dan Biaya (RAB) adalah dengan melakukan produksi di indoor/studio. Dengan green screen, maka production cost akan lebih rendah.
Produksi di outdoor pun tetap bisa ditekan biayanya dengan mencari lokasi yang lebih terjangkau secara budget.
Kualitas hasil akan dimaksimalkan lewat proses penyuntingan (editing). Misalnya lewat integrasi dengan animasi atau pemakaian stok-stok rekaman untuk mengurangi kebutuhan biaya langsung seperti lokasi dan artis.
Artis ini kan biaya yang tidak bisa tidak ya, karena artis yang populer tidak hanya “ada harganya” tetapi juga bisa mendatangkan traction lebih tinggi.
Intelectual Property
Waralaba seperti Star Wars, Jurassic Park, James Bond, dan Godzilla secara konsisten menghasilkan pendapatan besar karena memiliki basis penggemar yang loyal dan terus merilis film baru.
Di Indonesia, IP dari novel yang sukses, banyak yang diangkat ke layar lebar. Di antara contohnya adalah Laskar Pelangi, Dilan 1990, Bumi Manusia, Mariposa, Imperfect, dan KKN di Desa Penari.
Distribusi yang luas
Keuntungan tidak hanya berasal dari penjualan tiket bioskop, tetapi juga dari penjualan dan distribusi di luar negeri, hak siar tayang di televisi, dan layanan video streaming seperti Netflix, Vidio, WeTV, dll.
Festival film internasional adalah jalur untuk menjual maupun mendistribusikan film kita ke luar negeri. Banyak festival film besar berskala internasional (seperti Cannes, Berlin, atau Sundance) memiliki pasar film terkait di mana agen penjualan dan distributor hadir ke festival tersebut untuk mencari film-film baru.
Kalau mau start dari level nasional, bisa mulai dari Jakarta Film Week.
Berpartisipasi dalam festival-festival ini adalah cara yang sangat efektif untuk mendapatkan perhatian global dan memulai negosiasi distribusi. Festival film penting untuk promosi, namun bukan akhir dari upaya pemasaran.
Per November 2025, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) melalui program AKTIF (Akselerasi Kreatif) bantu pembuat film muda pasarkan karya nasional/internasional sebagaimana diberitakan oleh Liputan6.
Demikian teknik-teknik memaksimalkan keuntungan karya seni film. Jika Anda ingin berkonsultasi mengenai produksi suatu film, bisa menghubungi tim kami melalui email ke hello@kreasinema.com